Rabu, 22 Februari 2012

Mutiara Indonesia


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Q.S. 16 : 125)
 

Apa arti mutiara bagimu? Sesuatu yang indah, berharga, namun sulit untuk mendapatkannya. Di balik keindahannya ketika menjadi perhiasan, khasiatnya pun telah dipercaya untuk mempercantik kulit. Ya, siapa sangka sesuatu yang begitu sulit dijangkau tersebut bila sudah melalui proses yang cukup rumit itu akan memiliki harga jual yang tinggi. Manusia pun rela bersusah-payah mendapatkannya. Lalu bagaimana dengan mutiara Indonesia?

Mutiara Indonesia. Putra-putri di bumi pertiwi, Indonesia. Sang generasi pembangun peradaban di negeri yang kini sedang mengalami kebobrokan di beberapa sektor. Generasi pembaharu yang nantinya akan menghasilkan generasi penerus estafet dakwah. Generasi yang siap menapaki jalan menuju Indonesia madani.

Jika berbicara mengenai mutiara Indonesia, ku pikir bukan hanya mereka yang lahir dari keluarga kaya dengan semangat belajar tinggi sehingga berhasil kuliah di negeri lain meski terkadang banyak yang tidak mau kembali ke Indonesia. Mutiara Indonesia bukan hanya mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu kemudian mendapat beasiswa hingga dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. AGUNG, anak gunung sekalipun juga merupakan mutiara Indonesia.

Mereka juga mutiara Indonesia? Ya. Bagaimana tidak? Sebenarnya mereka memiliki potensi yang tidak kalah hebat atau bahkan lebih hebat dari anak-anak di kota. Lingkunganlah yang menjadikan mereka sebagai anak-anak tangguh yang tidak mudah mengeluh. Mereka yang rata-rata tidak melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP), sudah lancar melafalkan surah Al Muzzammil. Apakah di sana mereka hidup di lingkungan pesantren? Bukan. Mereka belajar di TPA sebuah masjid yang bertetangga dengan gereja.

Ataukah pengajar TPA di sana berlimpah sehingga dapat mendidik mereka menjadi penghapal Qur’an? Ku pikir tidak. Belum banyak pemuda Indonesia yang mau mengajar ke sana. Mengapa? Apakah mereka sulit dididik? Bukan. Alasannya lantaran jalan menuju ke sana begitu terjal dan berliku. Jalan menanjak, menurun, licin berbatu dengan jurang di sisi kanan maupun kiri, jalan tersebutlah yang harus dilewati para penjemput mutiara-mutiara itu.

Orang-orang yang terkesima dengan indahnya pemandangan mungkin akan tidak fokus pada jalan dan tergelincir, bahkan terperosok masuk dalam jurang. Analogi dengan kehidupan. Manusia yang terbuai oleh keindahan semu dunia, bisa saja menjadi tidak fokus pada tujuan hidupnya. Alhasil mereka terjebak dalam zona yang disadari atau tidak, akan menjauhkan mereka dari tujuan awalnya.

Para pendidik di kaki gunung itu telah berhasil mencetak Ahmad Saud – Ahmad Saud di Indonesia, menjadikan mereka tetap mendengarkan murottal Qur’an meski sedang bermain bola. Menjadikan orangtua-orangtua mereka bersedia membersihkan rumah menyambut tamu. Padahal sehari-harinya rumah mereka begitu berantakan. Sayur-mayur begitu mudah dijumpai di sana, tapi tidak jarang akan kau jumpai mereka yang sakit karena kekurangan garam. Masyarakat di sana masih kurang menyadari pentingnya menjaga kesehatan.

Jika di kota kita sering mendengar istilah kumpul kebo, di sana akan kita jumpai si pemilik rumah yang kumpul sapi. Ya, mereka berada satu rumah dengan sapi-sapi mereka hingga ada yang gatal-gatal karena kutu sapi. Mereka yang mengaku beragama Islam tapi masih saja menggantungkan jimat di pintu rumah, masih saja membakar kemenyan.

Kawanku yang begitu hebat, tetaplah berusaha menjadi lebih hebat. Tapi suatu hari nanti, terjunlah kau di antara mereka. Di sudut-sudut Indonesia yang masih jarang disentuh pendidikan. Bawakanlah cahaya untuk menuntun mereka keluar dari sudut sana dan menjadikan mereka yang nantinya bergantian denganmu membawa cahaya itu.

Untukmu yang masih belum menyadari betapa berharganya dirimu, cobalah bermalam dan mengabdi selama beberapa hari di sudut sana. Akan kau jumpai anak-anak yang begitu antusias mendengar setiap ucapanmu dan sulit melepas kepergianmu. Dan untukmu yang masih saja terbelenggu oleh kebencian kepada orang lain, lepaskanlah bayang-bayang yang menghambat gerakmu.


Selamat berbagi, semangA(r)t berkontribusi!

23 Februari 2012, 7:44,
terbang bersama Airbus..



Pahami Aku dan Pahamkan padaku




Kala itu seorang anak, pendatang baru di kota yang sebenarnya sudah tidak asing baginya, duduk termenung di sudut sebuah masjid. Perlahan ia melangkah menuju parkir motor, tertunduk lesu seolah “jiwa”-nya telah terampas. Beberapa menit kemudian ia telah pergi meninggalkan masjid itu. Apa yang terjadi padanya?

***

Beberapa hari yang lalu, ia merasa bahagia. Nampak keceriaan di wajahnya, semangatnya pun begitu terpancar dan menularkan orang-orang di sekitarnya. Bagaimana tidak? Baru beberapa pekan ia tergabung dalam sebuah organisasi, namun ia sudah akan dikaryakan bersama teman-temannya. Membuat mading secara berkelompok.

Ia dan kelompoknya ditugaskan membuat mading dengan tema jilbab. Setelah pembagian tugas, mereka pun mulai mengumpulkan bahan. Ia bertugas menggambar contoh jilbab syar’i dan yang belum syar’i, sedangkan teman-temannya yang mencari artikel maupun mengumpulkan dalil terkait kewajiban berjilbab.

Tak lama setelah tiba di kamar kosnya, ia telah tenggelam dalam dunianya. Dengan beberapa lembar kertas, penghapus, maupun spidol ia menggambar ditemani pensil kesayangannya. Beberapa kali terlukis senyum di wajahnya. Begitu indah. Sesekali gurat keseriusan hadir, perubahan mimik wajah yang lucu.

20 menit, 60 menit,dan 90 menit pun tanpa terasa telah berlalu. Tugasnya telah selesai. Matanya berbinar, senyum indah itu tak lepas dari wajahnya. Nampak kepuasan batin yang ia rasakan. Kebahagiaannya, rencana hebatnya, yang kemudian hanya tinggal kenangan pahit.

***

Tibalah saat baginya dan kelompoknya berkumpul menyempurnakan mading mereka. Tak jauh dari lokasi mereka tercium bau kertas terbakar. Ya, membakar kertas memang sudah menjadi salah satu hal yang biasa baginya ketika membuat mading. Celoteh dan tawa mereka memecah keheningan di siang itu. Ternyata tak beberapa lama kemudian kegiatan mereka menarik perhatian beberapa senior. Alhasil para senior pun hanyut dalam suasana hangat tersebut. Setelah mading dirasa sudah sesuai dengan rencana, akhirnya mereka pun berberes dan pulang.

Keesokan harinya terlihat semua mading dari berbagai kelompok telah terpasang. Teman-teman menyukai gambarnya. Ia pun bertekad untuk terus belajar menggambar. Memperindah gambarnya, melukis senyum pada wajah setiap orang yang melihat gambarnya. Namun beberapa hari kemudian..

Gambar perempuan berjilbab itu kini tampak tanpa kepala. Ada yang sengaja menyobek bagian itu. Hatinya memang hancur. Ia berusaha tetap berpikiran positif. “Mungkin ada orang lain dalam organisasinya yang beranggapan bahwa menggambar diperbolehkan asalkan tidak ada kepalanya”, pikirnya sembari terus berusaha menenangkan hatinya.

Beberapa hari setelah kejadian itu, ia kembali. Melanjutkan membaca mading yang dibuat oleh kelompok lain. Namun apa yang ia temukan? Gambarnya yang sebelumnya tanpa kepala, kini habis tak tersisa. “Apa aku telah salah menggambar? Apa Islam tidak membolehkan menggambar? Kalau begitu, mengapa aku diajari menggambar ketika sekolah?”

Ia segera beranjak ke luar ruangan itu, menuju sudut sebuah masjid. Menenangkan diri. Terdiam, namun pikirannya berjalan entah ke mana. Hatinya terluka. Tak beberapa lama kemudian, ia berjalan menuju motornya. “Ya, mungkin aku tidak usah menggambar lagi.”


Tidak sedikit orang yang hanya sebatas memberitahu tanpa mau memahamkan kepada orang lain. Mereka terkadang lupa tentang pentingnya komunikasi dan memahami orang lain.