Selasa, 27 Desember 2011

Islam sebagai "Kacamata"




Di suatu hari yang cerah, diadakanlah sebuah permainan. Permainan mencari sebuah kubus, di mana dalamnya terdapat selembar tiket. Pemenang dari permainan ini nantinya akan mendapatkan paket perjalanan ke suatu tempat wisata. Sedangkan syarat dari permainan ini adalah peserta hanya boleh mengambil satu bangun ruang. Tak mengherankan, banyak peserta yang terburu-buru agar segera menemukan kubus tersebut. Di akhir permainan, panitia mengevaluasi hikmah dari permainan ini. Tak sedikit peserta yang terkecoh, lalu mengambil balok maupun limas. Mereka yang mengambil balok maupun limas mengaku bahwa mereka hanya melihat dengan satu sisi. Ya, memang ada satu sisi di mana bentuk kubus, balok, maupun limas menjadi terlihat sama.

Cerita di atas hanyalah ilustrasi yang mungkin pernah kita lakukan atau hal yang serupa dengan inti dari cerita tersebut. Apa itu? Ya, mengultimatum suatu hal hanya dengan menilainya dari satu sisi. Penilaian secara cepat itu seringkali tepat, namun tak jarang pula menghadirkan penyesalan karena sikap yang tergesa-gesa.

Ketika manusia dihadapkan pada suatu kondisi yang menuntut mereka harus bergerak cepat, seringkali ketergesa-gesaan menyertai, hingga mereka tidak fokus berpikir. Karena yang ada di dalam benaknya adalah bergerak cepat, hanyut dalam emosi sesaat, dan melupakan bahwa mereka harus bergerak tepat pula. Di sinilah kita perlu menilai dari segala sisi. Melihat manfaat dan mudharat dari sesuatu, untuk kemudian memutuskan bagaimana kita harus bertindak.

Islam. Islam memandang daging babi haram, namun dalam agama lain bisa saja menghalalkannya. Mungkin saja kemudian muncul sebuah pertanyaan di antara mereka, “Mengapa babi diharamkan? Bukankah rasanya enak?”

Islam itu sempurna dan menyeluruh. Semua aspek kehidupan manusia telah diatur dengan sistematis dalam Islam, misalnya saja dalam pengharaman daging babi. Jika ditelusuri lebih lanjut, pada daging babi tidak jarang ditemukan cacing pita (maupun telurnya) yang bila bersarang di tubuh kita, nantinya akan merusak kesehatan kita.

Itulah Islam. Islam menilai dari berbagai aspek. Islam sebagai kacamata, dapat kita “gunakan” untuk berpandangan secara luas. Menyeluruh. Setelah itu, lahirlah keputusan-keputusan bijak yang dapat menjadikan kita dapat bergerak tepat. Lalu apa hubungannya dengan kacamata kuda?

Nah, inilah analogi lawannya. Teman-teman pasti pernah melihat kuda dengan kacamatanya? Janganlah kita sebagai manusia berpandangan seperti kuda dengan kacamatanya. Maksudnya apa? Cobalah perhatikan seekor kuda yang hanya melihat dari satu sisi, di mana sisi lain ditutupi, sehingga kuda hanya dapat melangkah lurus. Kuda yang hanya melihat dari satu sisi, hanya dapat bergerak dengan perintah kusirnya. Padahal bila kuda tidak menggunakan kacamatanya, ia bisa melihat indahnya pemandangan di sisi jalan, melihat temannya sesama kuda yang berada di sampingnya, atau mungkin dapat melihat cantiknya kuda lain.

Bila kita kembali pada ilustrasi permainan kubus, melihat dengan satu sisi membuat kita hanya dapat melihat persamaan, lalu berkeputusan. Padahal ada perbedaan yang harus diperhatikan pula. Perbedaan itulah yang menjadikan kubus, balok, maupun limas menjadi berbeda. Penilaian dari segala aspeklah yang menjadikan kita bijaksana dalam berkeputusan dan bertindak secara tepat.

Pandanglah Islam sebagai kacamata, yang melihat suatu hal dari segala sudut, yang menjadikan kita berpandangan luas. Islam sebagai kacamata, yang melihat perbedaan sebagai sesuatu yang dihargai, menjadi sesuatu yang dipertimbangkan, untuk kemudian menjadi sebuah kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar